NEGERI INI
i
negeri ini bewarna kelabu
bersalut korupsi dan jerebu
pucat pasi, gigil berkabut
ii
di bahu masjid suara teriakan;
“shia sesat, sufi dikecam.”
orang-orang mati kini ditanam
umpama bangkai ayam
iii
di sudut sudut negeri
polis lebih cepat memburu pencuri nasi
daripada pembajak bauksit
di tv dan surat khabar
artis dan agamawan merangkai pesta
dan pengacara berilusi
iv
negeri ini,
meski mendekap matahari
masih asing memahami api.
KIDUNG BUAT RETIS
di bingit kenaikan harga-harga,
membengkaknya hutang negara dan skandal
hargamu tetap kian melambung
di kekalutan politik, skandal pembesar negara,
langkanya kejujuran penguasa
wajahmu makin cantik, merdu suaramu masih
ketika teganya remaja-remaja membuang bayi,
bocah-bocah diperkosa dan hudud diperkata
lenggokmu semakin berahi dan digilai
di tengah terpuruknya kehormatan bangsa dan tercalarnya agama
berita tentangmu tetaplah bererti
di saat sang ibu meredakan tangisan anak
kebuluran dan sakit,
di rumah-rumah beratap khemah
engkau pilu, pernah terlupa membeli baju raya!
APA KHABAR SUMUR DI LADANG?
Tengah malam di inbok tidak ada apa-apa. Kau mungkin letih, dan tertidur. Aku cuba menulis puisi sampai pagi.
“Perang itu masih akan lama?”
Aku hanya takut kau kalah. Musim kian asing dan cuaca kian tak beretika.
“Aku benci perang, Dinda. Perang banyak membunuh bocah dan wanita. Sedang aku mencintainya”
Kau berpantun;
“kalau ada sumur di ladang boleh kita menumpang mandi…”
Tapi Kanda, ladang-ladang kian mati, menguburkan petani di sumur nan tohor. Mata air berair-mata lumpur, pasir dan batu koral. Aku telah lama ingin berkaki ayam di ladang dan bertelanjang di sumur. Tak terjawab bilakah pertama kali ladang yang pernah subur ini kehilangan sumur. Peladang kalah, kian tersiksa uzur.
Kini, anak-anak burung tidak kedengaran bercericit kerana ladang dan sisa sawah bertukar menjadi pabrik.
Kanda, kau belum bangun?